Nama saya Irama. Lengkapnya Raden Irama. Ayah saya, Kapten Raden Burda Anggawirja, Komandan Batalion Garuda Putih di Tasikmalaya, Jawa Barat. Suatu hari ia mengundang grup sandiwara Irama Baru dari Jakarta untuk menghibur pasukannya. Seusai pertunjukan, ibu saya, Tuti Djuariah, melahirkan seorang putra. Hari itu, 11 Desember 1946, saya hadir ke dunia.
Raden adalah gelar. Ayah dan ibu saya berdarah ningrat. Saya biasa dipanggil Oma. Ini panggilan sayang Ibu untuk saya, anak kedua dari 12 bersaudara. Belakangan, setelah saya naik haji, orang mengenal saya sebagai Rhoma Irama: Raden Haji Oma Irama.
Orang tua saya pindah ke Jakarta pada 1950. Sejak duduk di kelas dua sekolah rakyat, saya sering menyanyi di depan kelas. Lagunya berbahasa Inggris dan India, No Other Love dan Mera Dil Ye Pukare Aaja karya Lata Mangeshkar. Saya belajar menyanyi dari Ayah. Suaranya merdu meski dia bukan penyanyi profesional.
Bing Slamet (almarhum) pernah meminta saya tampil di Gedung Serikat Buruh Kereta Api di Manggarai. Dulu saya bersekolah di daerah Cibono, Manggarai, Jakarta Pusat. Saat itu, saya tampil bersama Bing Slamet di atas panggung.
Saya tergila-gila pada gitar. Saya bermimpi memiliki gitar setelah melihat Parlin Hutagalung, pemain gitar dari grup Riama. Akhirnya, Ayah membelikan gitar akustik. Sayang, gitar itu hancur dilempar Ibu ke pohon jambu, gara-gara saya lalai menjaga adik yang masih bayi.
Ibu tidak suka saya menyanyi. Dia ingin saya menjadi dokter atau insinyur. Kalau ditanya, saya bilang saja ingin menjadi hakim. Belakangan, Ibu terkejut ketika saya menjadi penyanyi profesional. Ibu hampir menangis sewaktu saya kasih uang rekaman pertama. "Kamu bisa ya mendapat uang dari musik," katanya.
Ayah mendidik saya dengan keras. Dia sering menghukum saya dengan rotan. Ayah meninggal pada 1958, lalu Ibu menikah lagi.
Awal 1960-an, saya membentuk band Gayhand, Tornado, dan Varia Irama Melody. Saya gemar menyanyikan lagu-lagu Pat Boone, Elvis Presley, Everly Brothers, Tom Jones, dan Paul Anka. Saya juga bergabung dalam kelompok orkes Melayu. Setiap malam Minggu, saya bermain band dalam pesta orang kaya. Ada kalanya saya bermain orkes Melayu di kampung, ditanggap pesta orang tak berpunya.
Gara-gara bermain band, saya dikeluarkan dari sekolah menengah atas sampai delapan kali. Kuliah di Universitas 17 Agustus pun terbengkalai. Saya tidak tamat kuliah. Habis bagaimana, jiwa saya sepenuhnya untuk bermain musik.
Lulus SMA, saya pernah kabur dari rumah. Ada desakan kuat ingin belajar agama Islam di Pesantren Tebuireng, Jombang. Saya nekat berangkat diam-diam ke Bandung. Maksudnya dari sana dengan kereta api saya bertolak ke Jombang. Kakak saya, Benny, dan teman masa kecil, Haris, menemani saya. Celakanya, kami tidak punya uang untuk beli tiket. Di Solo, kami kepergok kondektur dan diturunkan dari kereta api. Terpaksa kami hidup menggelandang beberapa bulan. Menjelang peristiwa G-30-S/PKI, saya pulang ke Jakarta.
Saya bernapas dengan musik. Tapi saya hidup di antara dua kutub: orkes Melayu dan rock. Saya bisa merasakan cibiran penikmat musik rock kepada orkes Melayu. Inilah yang memacu saya mengembangkan orkes Melayu menjadi dangdut.
Tapi saya justru mengawali karier sebagai penyanyi pop. Pada akhir 1960-an, saya merekam lagu Di Dalam Bemo, berduet dengan penyanyi pop Titing Yeni. Waktu itu diiringi kelompok pop Melayu, Pancaran Muda, pimpinan Zakaria. Saya juga merekam beberapa lagu pop bersama band Zaenal Combo milik Zaenal Arifin dan band Galaksi, antara lain Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat-dekat, Anaknja Lima, dan Tjinta Buta.
Pada 1968, saya bergabung dengan Orkes Melayu Purnama pimpinan Awab Haris dan Adullah. Awab dan Abdullah mengenalkan beberapa inovasi dalam irama Melayu. Mereka mengganti gendang kapsul dengan gendang tamtam. Band ini juga memasukkan gitar melodi ke dalam orkes. Agar mirip dengan musik India, pemain sulingnya, S. Shahab, menggunakan suling bambu.
Di OM Purnama, saya berduet dengan penyanyi Elvy Sukaesih, yang belakangan mendapat julukan Ratu Dangdut. Saya juga merekam album Ingkar Janji bersama OM Chandraleka pimpinan Umar Alatas pada 1969.
Saya beberapa kali pindah grup musik karena tiada kecocokan. Keprihatinan masa remaja, kehilangan ayah ketika masih di sekolah dasar, membentuk pribadi saya menjadi keras dan kukuh dalam prinsip, termasuk dalam musik. Akhirnya saya membentuk Orkes Melayu Soneta pada 13 Oktober 1970.
Grup saya hadir saat demam rock melanda dunia. Rolling Stones, Led Zeppelin, dan Deep Purple menjadi idola. Wabah rock ini membuat genre musik lain nyaris mati. Wah, kalau begini situasinya, orkes Melayu tidak akan bisa bertahan. Saya putuskan bersiasat. Orkes Melayu saya beri sentuhan hard rock. Pokoknya, saya harus bersaing dengan musisi rock!
Saya memasukkan napas hard rock ke dalam komposisi lagu Melayu. Irama Melayu yang mendayu saya ganti dengan ketukan hard rock yang cepat. Saya gunakan efek vokal ala Deep Purple. Irama tabla India dengan ciri khas gendang dan suling juga saya sisipkan. Lirik lagu Melayu yang pesimistis pun saya ubah menjadi dinamis.
Agar "adonan" musik ini sempurna hasilnya, jumlah alat musik saya modifikasi. Peralatan orkes standar tidak cukup. Saya nekat menambahkan dua gitar elektrik, bas elektrik, drum, keyboard, dan organ. Saya juga mengemas pertunjukan dengan atraksi panggung dan penyanyi latar.
Sejak 1971 sampai 1975, saya benar-benar bereksperimen. Hasilnya, saya membuat genre baru: dangdut! Istilah yang saya pakai: revolusi musik. Musik Melayu sudah bermetamorfosis menanggalkan wujudnya yang lama. Sambutan publik luar biasa. Musik saya menyusup ke mana-mana, dari gang becek di kampung-kampung sampai panggung mewah di Senayan.
Pada masa itu, dangdut mendapat cercaan bertubi-tubi. Julukan musik kampungan melekat. Seorang pentolan band rock pada 1970 menyebut dangdut musik "tahi anjing". Tidak perlulah saya sebut namanya. Dia masih eksis sampai sekarang. Kubu rock bahkan meminta pemerintah melarang dangdut beredar.
Perseteruan rock versus dangdut berlangsung bertahun-tahun. Sudah mafhum bila penggemar rock tawuran dengan fan dangdut. Korban terluka bukan main banyaknya. Panggung saya pernah dikencingi seorang rocker. Saya kejar dia dengan kabel setrum. Caci-maki di panggung sampai umpatan di media bertubi-tubi.
Pada 1979, perang mencapai titik puncak. Tapi pengacara Japto Soerjosoemarno berinisiatif mendamaikan. Saya bersama Soneta ditantang "berduel" musik dengan Achmad Albar dan God Bless di Senayan. Itulah duel musik terbesar yang saya ingat. Sejak itu, dua kubu berdamai. Pada 1986, konser bersama rock dan dangdut kembali digelar.
Kelompok orkes Melayu juga menolak kreasi saya. "Mau dibawa ke mana musik Melayu?" Awalnya, kelompok Melayu cenderung menyebutnya orkes tabla-mengacu pada gendang India. Mereka menolak dangdut masuk lingkungan irama Melayu. Ya! Mereka tentu ingin menjaga keaslian musik Melayu, yakni Melayu Deli.
Sebetulnya saya lebih suka memakai istilah irama Melayu daripada dangdut. Kata dangdut awalnya adalah olok-olokan, cemoohan, dari kelompok pop, rock, dan elite musik kepada aliran musik Melayu-India. Kata dangdut seingat saya pertama kali dipakai oleh majalah Aktuil pada awal 1970-an. Dangdut adalah julukan orkes yang menggunakan gendang bersuara "dang-dang-dut".
Kebetulan, penikmatnya kelas menengah ke bawah. Dangdut, misalnya, hadir di gang pengap Planet Senen, tempat pelacur, pemulung, maling, dan buruh jadi satu. Tapi, bagi orang yang antikemapanan dalam bermusik, dangdut adalah simbol pemberontakan. Dangdut adalah musik yang membebaskan.
Nyatanya musik pinggiran ini mendapat tempat. Orang pada akhirnya semakin gandrung. Penggemar saya jutaan. Mungkin hanya saya musisi yang mampu mengumpulkan massa sama banyaknya dengan rapat raksasa di Lapangan Ikada.
Pembicaraan siang itu terhenti sejenak. Rhoma masuk ke rumah. Dia ingin menunjukkan gitar kesayangannya, sebuah gitar headless bermerek Steinberger yang dibelinya di Hong Kong pada 1980. Saat itu harganya Rp 20 juta. Rhoma fanatik pada merek ini. Setelah Fender dan beberapa gitar merek lain, "Steinberger ini gitar terakhir saya," katanya. "Neck-nya kecil, fret-nya 24. Pas buat saya." Dua buah Steinberger, berwarna hitam dan putih, kini setia menemaninya.
Meski masa jayanya sudah lewat, Rhoma masih laris manis. Dalam sebulan Rhoma dan Soneta masih melayani dua-tiga konser off air di daerah. Termasuk panggilan berdakwah. Kini, film terbarunya, Sajadah Ka'bah, sedang dalam tahap editing. Badannya masih fit. Makanannya tidak berpantang. Olahraganya sederhana dan merakyat: silat Cingkrik. "Saya masih sehat. Jarang sakit."
Buat saya, musik harus mengandung pesan meski bahasanya sederhana. Tahun 1973 adalah tahun terpenting dalam karier musik saya. Saya memutuskan OM Soneta harus membawa misi Islam. Istilah saya "The Voice of Islam". Saya bilang, "Kenapa main musik harus identik dengan mabuk, bir, obat? Kenapa harus cipika-cipiki (cium pipi kanan dan cium pipi kiri) dan bebas pergaulan?" Saya merasa dibayangi dosa.
Tahun itu, pada 13 Oktober, saya bilang kepada anggota grup, "Mulai hari ini, tidak ada lagi yang meninggalkan salat. Tidak ada lagi botol minuman di pentas musik. Yang mau ikut, jabat tangan saya. Yang tidak, silakan keluar." Alhamdulillah, semuanya ikut saya. Saya pun mendatangkan guru agama, Ustad Said Ubeid Elly.
Napas agama makin terasa sepulang saya naik haji pada November 1975. Soneta Group sempat akan berganti nama menjadi Haji Sembilan, mengabadikan tokoh Walisongo yang menyebarkan Islam dengan wayang dan gamelan. Tapi rencana ini batal karena anggota Soneta hanya delapan.
Saya makin gencar membawakan pesan agama setiap kali konser. Pertama kali saya mengucapkan "assalamualaikum" di atas panggung, saya ditimpuki sandal dan batu. Waktu itu tahun 1975, di Ancol, saat perayaan tahun baru. Penonton marah, "Apa itu!" Batu beterbangan ke atas panggung. Mereka menganggap itu penghinaan terhadap agama.
Itulah dakwah saya yang pertama. Pertentangannya sangat besar. Saya disidang oleh Majelis Ulama Indonesia karena membawa-bawa agama dalam musik. Media saat itu menulis: "Rhoma menjual agama", "Rhoma mendendangkan Al-Quran di atas panggung musik", "Rhoma melecehkan agama". Tapi saya maju terus. Buat saya, musik ini not just for fun, tapi harus bisa mengubah dan membentuk perilaku orang.
Sebelum saya naik haji, cara berpakaian saya mengikuti gaya penyanyi rock Amerika dan Inggris: rambut gondrong, celana ketat, kemeja terbuka, dan sepatu bot. Setelah memakai nama Raden Haji Oma Irama, saya muncul dengan dandanan lain. Rambut tidak lagi gondrong, tapi dicukur rapi. Wajah sedikit berjenggot.
Urusan aurat membuat saya berseteru dengan Inul Daratista pada 2003. Saya prihatin karena ulama sudah memojokkan dangdut. Dangdut dibilang musik setan karena mempertontonkan aurat. Saya diminta Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia Jawa Timur memberikan arahan kepada Inul. Tapi pernyataan saya selalu dipelintir media. Seolah-olah saya memojokkan Inul. Sampai sekarang belum ada islah.
Pada 1975, album pertama OM Soneta (Volume I) terbit. Sambutan pendengar luar biasa. Lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta Pertama, Kampungan, Yale Le, Tak Tega, dan Sedingin Salju meledak di pasaran.
Setelah Begadang, saya semakin produktif. Muncul beberapa album lain, dari Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983). Semua ini diproduksi Yukawi Corporation, yang belakangan menjadi Soneta Records, milik saya. Sampai sekarang, sudah hampir seribu lagu saya ciptakan. Saya juga telah meraih sebelas Golden Plate Award.
Keberhasilan di dunia musik mengantarkan saya menjadi bintang film. Kira-kira sudah 20 judul film bertema dangdut dan dakwah yang saya bintangi. Sebut saja Begadang (1978), Raja Dangdut (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979), Perjuangan dan Doa (1980), Melodi Cinta Rhoma Irama (1980), Badai di Awal Bahagia (1981), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dakwah (1991), serta Tabir Biru (1994). Film Satria Bergitar, yang dibuat pada 1984, menelan biaya Rp 750 juta.
Pada 1980-an, dua kali saya hampir mati di atas panggung. Saat pentas di Senayan, tiba-tiba saya kesetrum. Mik yang saya pegang lengket. Untung, gitaris saya sadar. Saya ditendang hingga jatuh berdebam. Gara-gara itu, tulang punggung saya retak dan harus digips selama enam bulan. Saya terpaksa menyanyi di pentas memakai kursi roda.
Pada masa itu, musik saya dijuluki musik samber nyawa. Bila Soneta berpentas, pasti ada saja orang yang mati. Misalnya, saat pentas di Jakarta Fair di Monas pada akhir 1970-an, tujuh penonton tewas. Setiap kali pentas, subhanallah, sejauh mata memandang, hanya manusia. Pada 1985, majalah Asia Week menjuluki saya "Southeast Asia Superstar".
Sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/02/MEM/mbm.20110502.MEM136612.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar